'''''''''SUDAHKAH ..ANDA ..SHOLAT ..HARI.. INI'''''''''

Sabtu, 27 Agustus 2011

Imam Muslim dan Kitab Shahihnya

Beliau adalah Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi dinisbatkan kepada leluhurnya an-Naisaburi dinisbatkan kepada tempat tinggalnya. Beliau dilahirkan pada tahun 204 H sebagaimana disebutkan di dalam Khulashat Tahdzib al-Kamal oleh al-Khazraji dan juga menurut Tahdzib at-Tahdzib dan Taqrib at-Tahdzib yang keduanya adalah karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, demikian pula yang disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah. Ibnu Katsir menceritakan setelah menjelaskan tahun kematiannya yaitu pada tahun 261 H, “Beliau dilahirkan pada tahun yang sama dengan tahun wafatnya as-Syafi’i yaitu pada tahun 204 H. Dan beliau diberi umur 57 tahun, semoga Allah ta’ala merahmatinya.” Namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat dalam usia 55 tahun sebagaimana dinukil oleh Ibnu Khollikan dari kitab Ulama al-Amshar karya Abu Abdillah an-Naisaburi al-Hakim dengan tahun wafat yang sama yaitu tahun 261 H.
Beliau sudah memulai mendengarkan hadits sejak tahun 218 H (berarti usia beliau ketika itu 12 atau 14 tahun, artinya beliau masih remaja) sebagaimana dijelaskan di dalam Tadzkirat al-Hufazh karya adz-Dzahabi. Dan beliau pun mengadakan berbagai perjalanan untuk mencari hadits ke berbagai daerah, di antaranya ke Iraq, Hijaz, Syam, dan Mesir. Beliau meriwayatkan dari banyak guru, di antara sekian banyak gurunya yang paling banyak dia sebutkan riwayat mereka di dalam Kitab Shahihnya ada 10 orang, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam biografi beliau di Tahdzib at-Tahdzib yaitu :
  1. Abu Bakr bin Abu Syaibah (1540 hadits)
  2. Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb (1281 hadits)
  3. Muhammad bin al-Mutsanna yang dijuluki dengan az-Zaman (772 hadits)
  4. Qutaibah bin Sa’id (668 hadits)
  5. Muhammad bin Abdullah bin Numair (573 hadits)
  6. Abu Kuraib Muhammad bin al-’Alla’ bin Kuraib (556 hadits)
  7. Muhammad bin Basyar yang dijuluki Bundar (460 hadits)
  8. Muhammad bin Rafi’ an-Naisaburi (362 hadits)
  9. Muhammad bin Hatim yang dijuluki as-Samin (300 hadits)
  10. Ali bin Hujr as-Sa’di (188 hadits)
Sepuluh orang guru Imam Muslim ini juga menjadi narasumber periwayatan Bukhari secara langsung di dalam Shahihnya kecuali satu orang yaitu Muhammad bin Hatim, ini artinya sembilan orang selainnya adalah termasuk guru dari Bukhari dan Muslim. Abu Amr bin Shalah di dalam Ulum al-Hadits mengatakan, “Muslim itu, meskipun dia mengambil ilmu dari Bukhari dan memetik banyak pelajaran darinya namun ternyata dia juga berguru kepada banyak gurunya Bukhari pula.”
Imam Bukhari adalah termasuk guru Imam Muslim yang paling menonjol dan memiliki peran yang besar dalam mengajarkan hadits dan mengokohkan pemahamannya terhadap ilmu ini, dan beliau adalah sosok yang menanamkan untuk senantiasa meneliti kebenaran berita/hadits. Meskipun demikian, di dalam Kitab Shahihnya Muslim sama sekali tidak menyebutkan satupun periwayatan dari Bukhari. Hal itu dilakukan oleh beliau dimungkinkan karena dua alasan :
  1. Agar mendapatkan sanad hadits yang lebih tinggi, hal itu dikarenakan memang banyak guru Imam Bukhari yang juga menjadi guru Imam Muslim sehingga kalau seandainya dia juga menyebutkan Bukhari -padahal sebenarnya dia mendengar langsung dari gurunya Bukhari- maka niscaya rantai sanadnya akan semakin bertambah panjang dan semakin bertambah jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab keinginan kedekatan jalur periwayatan dengan Rasulullah inilah maka beliau tidak meriwayatkan dari Bukhari di dalam kitab Shahihnya ini
  2. Imam Muslim rahimahullah merasa prihatin dengan sikap sebagian ulama yang mencampuradukkan antara hadits sahih dengan hadits yang lemah dengan tidak membedakan antara keduanya. Oleh karena itulah beliau memfokuskan perhatiannya untuk memisahkan hadits-hadits sahih ini dari hadits-hadits yang lemah, sebagaimana hal itu beliau jelaskan di dalam mukadimahnya. Sehingga apa yang disebutkan oleh Bukhari telah cukup baginya sehingga tidak perlu lagi diulang olehnya, dikarenakan beliau (Imam Bukhari) juga begitu perhatian dalam mengumpulkan hadits-hadits yang sahih dengan kehati-hatian yang sangat ketat dan penelitian yang lebih jeli
Imam Muslim memiliki banyak murid, sebagaimana disebutkan di dalam Tahdzib at-Tahdzib di antara mereka adalah :
  1. Abul Fadhl Ahmad bin Salamah
  2. Ibrahim bin Abu Thalib
  3. Abu Amr al-Khaffaf
  4. Husain bin Muhammad al-Qabani
  5. Abu Amr al-Mustamli
  6. Shalih bin Muhammad al-Hafizh
  7. Ali bin al-Hasan al-Hilali (juga termasuk gurunya)
  8. Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra’ (juga termasuk gurunya)
  9. Ali bin al-Husain bin al-Junaid
  10. Ibnu Khuzaimah
  11. Ibnu Sho’id
  12. Muhammad bin Abdu bin Humaid, dan lain-lain
Imam Tirmidzi meriwayatkan darinya satu hadits saja di dalam kitab Jami’nya yang dikeluarkan di dalam Kitab Shiyam ‘Bab mengenai menghitung hilal bulan Sya’ban untuk menentukan masuknya Ramadhan’, yaitu hadits yang dibawakannya; Muslim bin Hajjaj menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yahya bin Yahya menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hitunglah hilal masuknya Sya’ban untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan nanti.”
al-’Iraqi mengatakan -sebagaimana dinukil oleh al-Mubarakfuri di dalam Tuhfat al-Ahwadzi ketika menjelaskan hadits ini- “Penyusun tidak meriwayatkan di dalam kitabnya ini satu hadits pun dari Muslim sang pemilik kitab Shahih selain hadits ini. Dan ini merupakan periwayatan dari sesama rekan belajar, karena mereka berdua (Muslim dan Tirmdzi) belajar kepada banyak guru yang sama.” Hal serupa juga dikatakan oleh Ibnu Hajar di dalam Tahdzib at-Tahdzib dan al-Khazraji di dalam Khulashat Tahdzib al-Kamal. Oleh sebab itulah Ibnu Hajar dan al-Khazraji memasukkan Muslim dalam kategori perawi hadits Tirmidzi hanya karena satu hadits ini.
Gurunya Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra’ berkata tentang Imam Muslim, “Muslim termasuk ulama kaum muslimin dan penjaga ilmu, aku tidak mengetahui dirinya melainkan dia adalah orang yang baik.” Ibnul Akhram mengatakan, “Sesungguhnya kota kita ini -Naisabur- hanya menghasilkan tiga orang tokoh pemuka periwayatan hadits yaitu; Muhammad bin Yahya, Ibrahim bin Abu Thalib, dan Muslim.” Maslamah bin Qasim mengatakan, “Beliau adalah orang yang terpercaya/tsiqah dan memiliki kedudukan yang sangat mulia, dan tergolong jajaran para imam.” Salah seorang gurunya yaitu Bundar -nama aslinya Muhammad bin Basyar- mengatakan, “Juru penghafal ada empat orang; Abu Zur’ah, Muhammad bin Isma’il, ad-Darimi, dan Muslim.” Ishaq bin Manshur pernah mengatakan, “Tidak akan lenyap kebaikan dari kami selama Allah masih menghidupkan dirimu di kalangan kaum muslimin.” Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengedepankan Muslim bin Hajjaj dalam hal pengetahuannya mengenai hadits-hadits yang shahih dibandingkan para masyayikh yang lain di masa mereka.” adz-Dzahabi mengatakan mengenai beliau, “Abul Husain an-Naisaburi, seorang hafizh dan salah satu pilar penopang hadits.”
Imam Muslim memiliki pekerjaan berdagang pakaian sebagaimana disebutkan di dalam Tahdzib at-Tahdzib. Beliau menulis kitab Shahihnya dari 300 ribu hadits yang pernah didengarnya. Dan beliau menghabiskan waktu selama lima belas tahun untuk menyusun dan meneliti riwayat-riwayatnya. Miki bin Abdan menceritakan; Aku mendengar Muslim mengatakan, “Aku tunjukkan kitabku ini kepada Abu Zur’ah ar-Razi, maka setiap hadits yang dia isyaratkan mengandung ‘illah/cacat hadits maka aku tinggalkan, dan setiap hadits yang dikatakan olehnya sahih dan tidak ada ‘illahnya maka aku cantumkan hadits itu.” Dari satu sisi, hal ini menunjukkan kehati-hatian Imam Muslim yang sangat ketat dalam meriwayatkan hadits. Dan dari sisi yang lain, hal ini juga menunjukkan sikap tawadhu’ beliau dan keinginan yang tulus untuk mencari kebenaran. Miki bin Abdan juga menceritakan; Aku mendengar Muslim bin Hajjaj mengatakan, “Seandainya para ulama hadits menghabiskan waktu mereka selama dua ratus tahun maka inti dari apa yang mereka kumpulkan itu sudah ada di dalam Musnad ini.” Maksudnya adalah kitab Shahihnya tersebut.
Shahih Muslim menempati rangking kedua setelah Shahih Bukhari. Maka kitab ini termasuk satu di antara dua buah kitab yang paling sahih setelah Kitabullah. Jumlah hadits tanpa pengulangan yang terdapat di dalam Shahih Muslim menurut penghitungan an-Nawawi di dalam at-Taqrib adalah sekitar 4000 hadits. Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi jumlahnya adalah 3033 hadits. Adapun apabila dihitung beserta hadits-hadits serupa dengan berbagai jalur periwayatannya maka jumlah hadits yang ada di dalamnya lebih banyak daripada hadits dalam Shahih Bukhari, jumlah hadits dalam Shahih Muslim menurut penuturan Ahmad bin Salamah (salah seorang rekan sekaligus muridnya) adalah 12 ribu hadits. Berbeda dengan Shahih Bukhari, Shahih Muslim hanya mencantumkan sedikit hadits-hadits mu’allaq, an-Nawawi di dalam Muaqadimah Syarahnya menyebutkan bahwa di dalam Shahihnya ini Muslim hanya menyebutkan hadits mu’allaq di 14 tempat.
Inilah sekilas tentang Imam Muslim dan karyanya, semoga Allah membalas kebaikannya dengan sebaik-baik balasan dan menjadikan kita sebagai penerus perjuangannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Diambil dari al-Imam Muslim wa Shahihuhu
karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah
Penerbit Jami’ah Islamiyah Madinah
islamspirit.com

Mengupah Jagal dengan Daging Kurban?

by Abu Mushlih
Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul ‘Tidak boleh memberikan bagian hewan kurban kepada jagal barang sedikitpun’. Di dalam bab ini beliau membawakan hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan onta kurban beliau dan beliau berpesan kepadaku untuk tidak memberikan upah atas penyembelihannya barang sedikitpun.’ (HR. Bukhari [1716]).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari teks riwayat yang dibawakan oleh Bukhari tersebut, “Zahir hadits ini menunjukkan tidak boleh memberikan upah kepada jagal (penyembelih kurban) sama sekali. Namun maksud sebenarnya adalah tidak boleh memberikan bagian hewan kurban kepada jagal barang sedikitpun sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim [No 1317 dari Ali, lihat Sahih Muslim cet. Darul Kutub Ilmiyah, hal. 489. Pent].” Kemudian, Ibnu Hajar juga menerangkan bahwa maksud hadits ini ialah tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurban kepada jagal sebagai pengganti upahnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Nasa’i, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Dan (aku) sama sekali tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah atas penyembelihannya.” (lihat Fath Al-Bari, 3/630).
Dalam bahasa Arab, upah untuk jagal yang diambil dari bagian hewan yang disembelih disebut Juzarah (dengan huruf jim didhommah) sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir. Akar kata juzarah pada asalnya bermakna bagian-bagian ujung dari tubuh onta yaitu; kepala, kedua tangan dan kedua kakinya, karena dahulu para tukang jagal biasa mengambilnya sebagai upah atas pekerjaan mereka. Sedangkan perbuatan menyembelih hewan disebut dengan jizarah (dengan huruf jim dikasrah) (lihat Fath Al-Bari, 3/630).
Dalam teks yang lain, Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib diperintahkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan onta kurbannya, dan Nabi memerintahkannya untuk, “Membagikan seluruh bagian tubuh onta; baik itu dagingnya, kulitnya, maupun pelana [yang menempel di punggung] nya dan tidak boleh memberikan upah penyembelihan atasnya (dari bagian hewan tersebut, pent).” (HR. Bukhari [1717]).
Ibnu Khuzaimah rahimahullah mengatakan bahwa maksud ucapan ‘membagikan semua bagiannya’ adalah untuk diberikan kepada orang-orang miskin kecuali sebagian daging kurban yang diperintahkan untuk dimakan oleh pemiliknya. Beliau juga menjelaskan bahwa maksud larangan tersebut ialah tidak boleh memberikan bagian hewan kurban untuk dijadikan sebagai upah atas pekerjaannya (lihat Fath Al-Bari, 3/631).
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada ulama yang memberikan keringanan bolehnya memberikan upah untuk jagal dengan bagian dari hewan kurban kecuali Hasan Al-Bashri dan Abdullah bin Ubaid bin Umair.” Hadits ini juga dijadikan dalil oleh Al-Qurthubi untuk menyatakan tidak bolehnya menjual kulit (hewan kurban). Beliau berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kulit hewan kurban dan pelananya tidak boleh diperjualbelikan, karena penyebutannya disertakan dengan daging [sebagaimana dalam teks; Ali diperintahkan untuk membagi daging dan kulit serta pelananya, pent] dan ia memiliki ketetapan hukum yang sama [yaitu harus dibagikan, pent].” Namun, sebagian ulama ada juga yang membolehkan menjual kulit hewan kurban seperti Al-Auza’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur, dan ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah. Namun, pendapat mereka tertolak berdasarkan sebuah hadits yang marfu’ (sampai kepada Nabi) melalui penuturan Qatadah bin Nu’man, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memperjualbelikan daging kurban! Bagikan, makanlah sebagian, dan manfaatkanlah kulit-kulitnya namun jangan diperjualbelikan. Apabila kalian memberikan makan (bersedekah) dari dagingnya maka makanlah (sebagiannya) jika kalian mau.” (HR. Ahmad) (lihat Fath Al-Bari, 3/631).
Ulama lain yang berpendapat tidak bolehnya memberikan upah kepada jagal dengan bagian hewan kurban -baik daging ataupun kulitnya- adalah Al-Baihaqi rahimahullah sebagaimana dalam Sunannya beliau membuat bab dengan judul ‘Penyebutan keterangan bahwa jagal tidak boleh diberi upah dari bagian hewan kurban barang sedikitpun’ kemudian beliau menyebutkan hadits Ali sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas. Di tempat yang lain beliau juga membuat bab dengan judul ‘Tidak boleh memberikan daging kurban maupun kulitnya kepada jagal sebagai upah atas pekerjaannya’, kemudian beliau menyebutkan hadits yang sama (lihat Sunan Al-Baihaqi, Hadits no. 4022 dan 10021. Islamspirit.com).
Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan ‘Tidak boleh memberikan bagian hewan kurban untuk upah bagi jagal’. Beliau berdalil dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim di atas dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hikmah tidak diperbolehkan mengupah jagal dari bagian hewan kurban itu menurut beliau adalah karena mengupah dengan bagian hewan kurban itu sama artinya dengan menjual bagian hewan tersebut, padahal menjual daging atau kulit hewan kurban adalah perbuatan yang dilarang. Ash-Shan’ani juga mengatakan bahwa mayoritas ulama berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan kurban kecuali Abu Hanifah (lihat Subulus Salam, 7/340-341. Cet. Dar Ibnul Jauzi).
Lalu bagaimana kita menghargai jerih payah jagal? Hal ini telah dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami -sohibul qurban- akan mengupahnya dari harta kami sendiri.” (HR. Muslim [1317]). Maka seyogyanya bagi sohibul qurban untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk mengupah penyembelih kurban.
Namun, mungkin masih tersisa satu pertanyaan; bolehkah jagal atau panitia kurban (selain jagal) menikmati daging hasil sembelihan tersebut? Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali -semoga Allah menjaganya- mengatakan, “…Bahkan dibolehkan bagi penyembelih untuk mendapatkan sebagian daging kurban karena yang dilarang adalah mengambil sebagian daging qurban sebagai ganti upah menyembelihnya, karena penyembelih termasuk yang berhak menerima daging qurban.” (Berqurban bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, artikel Majalah Al-Furqon, edisi 5 tahun ke-7 hal. 37). Di antara dalil yang mendukung pendapat ini -sejauh yang kami ketahui- adalah ayat (yang artinya), “Maka makanlah sebagian dagingnya dan berilah makan kepada orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta-minta…” (QS. Al-Hajj : 36).
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Adapun apabila upahnya sudah dibayarkan secara penuh kemudian (bagian hewan kurban itu) disedekahkan kepadanya karena dia termasuk orang miskin -sebagaimana halnya bersedekah kepada orang-orang miskin yang lain- maka hal itu tidak mengapa.” Sebagian ulama mengatakan bahwa memberikan daging kurban kepada jagal sebagai sedekah atau hadiah -dan memberi makan dengan daging kurban termasuk di dalamnya- atau sebagai tambahan atas hak (upah)nya maka berdasarkan analogi hal itu diperbolehkan (lihat Fath Al-Bari, 3/631).
Syaikh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Penyembelih kurban tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas penyembelihannya dengan kesepakatan para imam. Yang diperbolehkan adalah memberikan daging/bagian hewan kurban kepadanya sebagai hadiah untuknya -apabila dia tergolong kaya- atau dalam rangka bersedekah (kepadanya) jika dia tergolong miskin. Apalagi jika dia sangat menginginkannya karena dia lah orang yang langsung turun tangan mengurusi penyembelihannya, dengan ini maka keumuman hadits tersebut menjadi terkhususkan.” (Taudhihul Ahkam, 7/92-93).
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Grup Orang-Orang Keterlaluan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang tidak diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak disucikan-Nya (Abu Mu’awiyah -seorang periwayat- berkata: dan -Allah- tidak akan memandang mereka) dan mereka akan menerima siksa yang sangat pedih, yaitu: orang yang sudah tua tapi berzina, raja yang suka berdusta, dan orang miskin yang sombong.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [2/184])
Hadits yang agung ini mengandung pelajaran, antara lain:
  1. Di antara bentuk hukuman yang diberikan Allah di akherat kelak kepada orang-orang yang durhaka adalah dengan tidak mengajak bicara, tidak menyucikan, dan tidak memandang mereka
  2. Di antara bentuk kenikmatan dan balasan yang diberikan Allah di akherat kelak kepada orang-orang yang taat adalah dengan mengajak bicara, menyucikan, dan memandang mereka
  3. Iman kepada hari akherat dan pembalasan amal
  4. Iman adanya kehidupan setelah kematian
  5. Dorongan untuk beramal salih sebelum kematian datang
  6. Anjuran untuk bertaubat dari dosa dan kesalahan di masa silam agar tidak menjadi penyesalan di akherat nanti
  7. Penetapan bahwa Allah berbicara dan memandang, yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan diri-Nya, tidak serupa dengan makhluk-Nya
  8. Berzina, berdusta, dan sombong merupakan dosa besar
  9. Perbuatan dosa akan membawa petaka bagi pelakunya, cepat ataupun lambat
  10. Tercelanya orang-orang yang melakukan suatu jenis perbuatan dosa padahal dari segi kemungkinan dan dorongan untuk melakukannya adalah kecil, di sisi lain juga sebenarnya orang tersebut tidak terlalu ‘membutuhkannya’. Orang yang sudah tua semestinya akalnya sudah sempurna dan melemah sebab-sebab untuk melakukan ‘hubungan’ dengan perempuan. Maka orang tua yang berzina jauh lebih tercela dibandingkan seandainya pelakunya itu masih muda yang notabene akalnya masih belum sempurna dan sebab-sebab untuk itu masih ‘menggebu-gebu’. Begitu pula seorang raja/pemimpin yang menipu rakyatnya padahal dia adalah penguasa yang tidak perlu merasa takut kepada siapa-siapa dan tidak perlu menjilat kepada orang lain. Demikian pula orang miskin, tidak punya harta, lantas apa yang akan disombongkannya? Itu semua menunjukkan bahwa mereka melakukan perbuatan dosa tersebut dalam keadaan tidak ada ‘alasan’ untuk melakukannya tidak lain karena meremehkan kedudukan Allah ta’ala dan tidak peduli sama sekali terhadap aturan-Nya (lihat Syarh Muslim [2/184-185])
  11. Meninggalkan kemaksiatan karena takut kepada Allah ketika dia mampu melakukannya merupakan sebab bertambahnya iman.
  12. Melakukan kemaksiatan dalam keadaan sedikitnya faktor pendorong dan kecilnya kemungkinan untuk melakukannya akan menyebabkan turunnya keimanan secara drastis, lebih parah keadaannya daripada orang yang bermaksiat dalam kondisi banyak faktor pendorongnya. Walaupun dua-duanya sama-sama tercela dan merusak iman pelakunya (lihat Fathu Rabbil Bariyyah, karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
  13. Menyebutkan permasalahan secara global kemudian dirinci merupakan salah satu metode mengajar yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Zakat Fitri Dengan Uang bolehkah?

Oleh: Ustadz Ammi Nur Ba’its, S.T. hafizhahullah
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat menggunakan uang secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, dan sebagian membolehkan tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadatan yang mereka lakukan. Seringnya orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi) padahal sudah ada dalil yang tegas.
Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, tulisan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan kecemburuan terhadap sunnah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya:
“Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. An Nisa’: 59)
Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat maka setiap ada masalah dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Siapa yang tidak bersikap demikian berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.
Pada kajian ini, terlebih dahulu akan disebutkan peraselisihan pendapat ulama, kemudian ditarjih (dipilih pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, penulis akan lebih banyak mengambil faedah dari risalah Ahkam Zakat Fitri karya Nida’ Abu Ahmad.
Perselisihan Ulama
Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini. Pertama membolehkan pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang, kedua melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali pada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan? Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan, tidak menggunakan benda yang diperdagangkan. Namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak. Pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.
Sebaliknya, jika status zakat fitri ini sebagaimana zakat badan, maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran Kaffarah untuk semua jenis pelanggaran. Dimana sebab adanya Kaffarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan dan bukan kewajiban karena harta. Pembayaran Kaffarah harus menggunakan apa yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan. Jika seseorang membayar Kaffarah dengan selain yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar Kaffarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan. Kaffarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar Kaffarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, karena tidak menemukan budak. Demikian pula, tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga tidak boleh memberi uang Rp 5000; kepada 60 fakir miskin. Karena Kaffarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.
Di manakah posisi zakat fitri?
Sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri itu mengikuti prosedur Kaffarah. Karena zakat fitri adalah zakat badan dan bukan harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan dan bukan harta adalah pernyataan Ibn Abbas dan Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri:
  1. Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, …. bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. …” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  2. Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa & perbuatan atau ucapan jorok….” (HR. Abu Daud & dihasankan Syaikh Al Albani)
Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri statusnya adalah zakat badan dan bukan zakat harta. Berikut adalah beberapa alasannya:
  1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak, jasad dan hartanya semuanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
  2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa & perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri statusnya sebagaimana Kaffarah untuk kekurangan puasa seseorang.
Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri statusnya sebagaimana Kaffarah?
Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana Kaffarah:
  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
  2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Sehingga tidak boleh diberikan kepada amil, muallaf, budak, masjid dan golongan yang lainnya. (lih. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 25/73)
Sebagai tambahan wacana berikut kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini:
Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang
Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Bashri, Atha’, Ats Tsauri, dan Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwasanya beliau mengatakan: “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”
Diriwayatkan dari Abu Ishaq, beliau mengatakan: “Aku menjumpai mereka (Al Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka menunaikan zakat Ramadhan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”
Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwasanya beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri dengan uang
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam As Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan Imam Malik & Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut nukilan perkataan mereka:
Perkataan Imam Malik
Imam Malik mengatakan: “Tidak sah seseorang yang membayar zakat fitri dengan mata uang apapun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al Mudawwanah Syahnun)
Imam Malik juga mengatakan: “Wajib menunaikan zakat fitri satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad Din Al Khas)
Perkataan Imam Asy Syafi’i
Imam Asy Syafi’i mengatakan: “Wajib dalam zakat fitri dengan satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad Din Al Khas)
Perkataan Imam Ahmad
Al Khiraqi mengatakan: “Siapa yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al Mughni Ibn Qudamah)
Abu Daud mengatakan: “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham, beliau menjawab: “Aku khawatir zakatnya tidak diterima, karena menyelisihi sunnah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad, dinukil dalam Al Mughni 2/671).
Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku: “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang berkomentar kepada Imam Ahmad: “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan: “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan: “Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum.” Allah juga berfirman: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.” Ada beberapa orang yang menolak sunnah dan mengatakan: fulan ini berkata demikian, fulan itu berkata demikian.” (Al Mughni Ibn Qudamah 2/671)
Dlahir madzhab Imam Ahmad bahwasanya beliau berpendapat tidak sah-nya membayar zakat fitri dengan nilai mata uang.
Beberapa perkataan ulama lainnya:
- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan: “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran Kaffarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
- Taqiyuddin Al Husaini As Syafi’i, Penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fiqh madzhab Syafi’i) mengatakan: “Syarat sah-nya pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan). Tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar 1/195)
- An Nawawi mengatakan: “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al Majmu’)
- An Nawawi mengatakan: “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut madzhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad dan Ibnul Mundzir.” (Al Majmu’)
- As Syaerazi As Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat. Karena kebenaran adalah milik Allah. Dan Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firmannya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berqurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al Majmu’)
- Ibn Hazm mengatakan: “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali. Karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah” (Al Muhalla bi Al Atsar 3/860)
- As Syaukani berpendapat tidak bolehnya menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As Sailul Jarar 2/86)
Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syaikh Ibn Baz, Syaikh Ibn Al Utsaimin, Syaikh Abu Bakr Al Jazairi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat. Karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim 251)
Dalil-dalil masing-masing pihak
Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang.
Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al Hasan Al Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (al Qur’an, Al Hadis, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
Istihsan (menganggap lebih baik)
Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin dari pada bahan makanan.
Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang.
Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.
1. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering…” (HR. Al Bukhari & Muslim)
2. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, ……sebagai makanan bagi orang miskin…” (HR. Abu Daud & dihasankan Syaikh Al Albani)
3. Dari Abu Said Al Khudzri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Dulu kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur kering.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
4. Abu Sa’id Al Khudzri radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Dulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan: “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (Aqith), dan kurma.” (HR. Al Bukhari 1439)
5. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya….dst.” (HR. Al Bukhari 2311)
Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang.
1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.
Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.
Imam Al Haramain Al Juwaini As Syafi’i mengatakan: “Bagi Madzhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Dan semua yang merupakan bentuk ibadah maka pelaksanaannya adalah mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan: “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya): “‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (dari pada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih manfaat dari pada apa yang diperintahkan. (jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pen.) maka apa yang Allah wajibkan melalui perintahNya lebih layak untuk diikuti.”
Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara wakil tidak berhak untuk bertindak diluar yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk di antara bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-sekali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah. Karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.
Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan RasulNya. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, menunaikan ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya adalah ibadah yang tertolak.
2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.
Namun yang beliau praktekan bersama para sahabat adalah membayarkan zakat fitri menggunakan bahan makanan dan bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling paham akan kebutuhan umatnya, dan paling kasih sayang terhadap fakir miskin, bahkan paling kasih sayang kepada seluruh umatnya. Allah berfirman tentang beliau, yang artinya:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Qs. At Taubah: 128)
Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Siapakah yang lebih paham tentang kebutuhan umat yang dicintainya melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sebut saja misalnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu perasaan orang lain. Tapi, bukankah Allah maha tahu? Maka sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui wahyu Allah ta’ala adalah bukti akan kasih sayang dan ilmu Allah kepada hambaNya.
3. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan, beliau tidak memberi kesimpulan: “…atau yang senilai dengan itu semua itu…” Jika dibolehkan mengganti bahan makanan dengan uang tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena beliau adalah orang yang sangat pemurah terhadap ilmu agama. Tidak mungkin hal itu akan beliau diamkan sementara ini adalah perkara agama yang penting.
Dalam masalah ini terdapat satu kaidah fiqh yang patut untuk diperhatikan:
السكوت في مقام البيان يفيد الحصر
“Tidak ada penjelasan (didiamkan) untuk masalah yang harusnya diberi keterangan menunjukkan makna pembatasan.”
kaidah ini disebutkan oleh Shidddiq Hasan Khan dalam Ar Raoudlah An Nadiyah. Berdasarkan kaidah ini, seringkali Ibn Hazm ketika menyebutkan sesuatu yang tidak ada dalilnya, beliau mengutip ayat Allah:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Tidaklah Tuhanmu pernah lupa.” (Qs. Maryam: 64)
Maka diamnya Allah ta’ala atau diamnya Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak menyebutkan bolehnya membayar zakat menggunakan uang, tidaklah karena Allah atau RasulNya itu lupa. Maha Suci Allah dari sifat lupa. Namun ini menunjukkan bahwa hukum tersebut dibatasi dengan apa yang Allah jelaskan. Sedangkan, selain apa yang telah Allah dan RasulNya jelaskan tidak termasuk dalam ajaran yang Allah tetapkan.
Oleh karena itu, jika telah diketahui bahwasanya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada dinar dan dirham, sementara beliau tidak pernah menggunakan mata uang tersebut untuk membayar zakat fitri beliau, demikian pula, beliau tidak pernah memerintahkan atau mengajarkan para sahabat untuk membayar zakat fitri dengan mata uang, maka ini menunjukkan tidak bolehnya membayar zakat fitri menggunakan mata uang. Karena mata uang untuk pembayaran zakat fitri tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Dan sekali lagi, Allah dan RasulNya tidaklah lupa.
4. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa jenis bahan makanan dengan ukuran satu sha’ untuk pembayaran zakat fitri.
Sementara telah dipahami bersama bahwa harga masing-masing berbeda. Satu sha’ gandum jelas berbeda harganya dengan satu sha’ kurma. Demikian pula, satu sha’ anggur kering jelas berbeda harganya dengan satu sha’ keju (aqith). Padahal, jenis-jenis bahan makanan itulah yang digunakan oleh sahabat untuk membayar zakat fitri.
Lantas, dengan bahan makanan yang manakah yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan nilai mata uang?
An Nawawi mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa bahan makanan yang harganya berbeda. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fitri untuk semua jenis makanan sebanyak satu sha’. Maka ini menunjukkan bahwa yang dijadikan acuan adalah ukuran sha’ bahan makanan dan tidak melihat harganya.” (Syarh Muslim)
Ibnul Qashar mengatakan: “Menggunakan mata uang adalah satu hal yang tidak memiliki alasan. Karena harga kurma dan harga gandum itu berbeda.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal)
Mari kita perhatikan perkataan Abu Sa’id Al Khudzri radhiallahu ‘anhu: “Dulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan: “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (HR. Al Bukhari 1439)
Penegasan Abu Sa’id: “Dulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam….” menunjukkan hukum dan ajaran yang disampaikan Abu Said statusnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerena kejadian yang dilakukan para sahabat radhiallahu ‘anhu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih-lebih dalam masalah ibadah seperti zakat, dapat dipastikan bahwa hal itu terjadi di bawah pengawasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan persetujuan beliau. Demikian yang dijelaskan oleh Al Hafidz Ibn Hajar.
Kemudian Al Hafidz Ibn Hajar memberikan keterangan untuk perkataan Abu Said Al Khudzri tersebut: “Semua bahan makanan yang disebutkan dalam hadis Abu Said Al Khudzri, ketika cara membayarnya menggunakan ukuran yang sama (yaitu semuanya satu sha’, pen.), sementara harga masing-masing berbeda, ini menunjukkan bahwasanya yang menjadi prosedur zakat adalah membayarkan seukuran tersebut (satu sha’) dari bahan makanan apapun.” (Fathul Bari 3/437)
Ringkasnya, tidak mungkin nilai uang untuk pembayaran zakat bisa ditetapkan. Tidak ada yang bisa dijadikan sebagai ukuran standar. Karena jenis bahan makanan yang ditetapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermacam-macam, padahal harganya berbeda-beda, sementara ukurannya sama, yaitu satu sha’. Benarlah apa yang dikatakan Ibnul Qosim Al Maliki: “Masing-masing penduduk negri mengeluarkan zakatnya menggunakan bahan makanan yang umumnya digunakan. Kurma adalah bahan makanan penduduk madinah, penduduk Mesir tidak mengeluarkan zakat kecuali bur (gandum), sampai harga bur mahal kemudian bahan makanan yang umum mereka pakai menjadi sya’ir (gandum kasar), dan boleh (untuk dijadikan zakat) bagi mereka.” (Dinukil oleh Ibnu Batthal dalam Syarh Shahih Al Bukhari, yang diambil dari kitab Al Mudawwanah)
Catatan dan kesimpulan
Jika masih ada sebagian orang yang belum menerima sepenuhnya zakat fitri dengan makanan, karena beralasan bahwa uang itu lebih bermanfaat, maka mari kita analogikan kasus zakat fitri ini dengan kasus qurban. Apa yang bisa anda bayangkan ketika daging membludak di hampir semua daerah. Bahkan sampai ada yang busuk, atau ada yang muntah dan enek ketika melihat daging. Bukankah uang seharga daging lebih mereka butuhkan? Lebih-lebih bagi mereka yang tidak doyan daging. Akankah kita katakan: “Dibolehkan berqurban dengan uang seharga daging, sebagai antisipasi untuk orang yang tidak doyan daging?”
Orang yang berpendapat demikian bisa kita pastikan adalah orang yang terlalu jauh dari pemahaman agama yang benar.
Oleh karena itu, setelah dipahami pembayaran zakat fitri hanya dengan bahan makanan, maka kita tidak boleh menggantinya dengan mata uang selama bahan makanan masih ada. Karena terdapat kaidah dalam ilmu fiqh:
لا ينتقل إلى البدل إلا عند فقد المبدل عنه
“Tidak boleh berpindah kepada ‘pengganti’ kecuali jika yang ‘asli’ tidak ada.”
Yang “asli” adalah bahan makanan (beras), sedangkan “pengganti” segala sesuatu selain beras.
Semoga bermanfaat…
***
Artikel www.muslim.or.id

Kapan Membaca ‘Amin’?

Pertanyaan:
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Apabila dia ruku’ maka ruku’lah kalian, dan apabila dia sujud maka sujudlah kalian. dan apabila dia membaca ‘amin’ maka bacalah amin.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lalu apakah makna sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila dia membaca amin, maka bacalah amin.”?

Jawaban:
Maknanya adalah apabila dia (imam) sudah mulai membaca amin, atau apabila dia telah sampai tempat bacaan amin maka bacalah amin, sebab terdapat riwayat yang sah dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila imam telah membaca, ‘waladhdhaalliin, maka ucapkanlah amin.” (HR. Muslim).
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa makna sabda beliau ‘apabila dia membaca amin’ yaitu apabila dia telah selesai membaca amin, akan tetapi bukan seperti itu yang benar. Namun, maksudnya adalah apabila dia sudah sampai tempat bacaan amin, maka bacalah amin oleh kalian. Hadits Abu Hurairah di dalam Shahih Muslim menjelaskan hal itu, “Apabila imam telah membaca, ‘waladhdhaalliin, maka ucapkanlah amin.’.”
(Ibnu Utsaimin –rahimahullah-)
Diterjemahkan dari:
Fatawa Tata’allaqu Bi Syarhi Ba’dhil Ahadits,
Penyusun Dakhilullah bin Bakhit,
Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah
Cet ke-1 1422 H.
Halaman 19-20

Hukum Takbiran (Takbir Jama'i)

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Saya telah menelaah apa yang disebarkan oleh Fadhilah Al-Akh Syaikh Ahmad bin Muhammad Jamal –semoga Allah menujukannya kepada yang diridhai-Nya. Yaitu yang dimuat di sebagian Koran lokal, tentang penilaiannya yang menganggap aneh pelarangan takbir jama’i di masjid-masjid sebelum shalat Ied, dengan anggapan bahwa amalan ini merupakan bid’ah yang wajib dilarang. Syaikh Ahmad dalam makalahnya tersebut berusaha untuk memberikan dalil, bahwa takbir jama’i bukan bid’ah dan tidak boleh dilarang. Dan pandangannya ini di dukung oleh sebagian penulis lain.

Karena khawatir persoalan ini menjadi kabur bagi orang yang tidak mengetahui hakikat masalahnya, maka saya ingin menjelaskannya. Bahwasanya hukum asal takbir pada malam Ied, sebelum shalat Iedul Fithri, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan pada hari-hari tasyriq merupakan amalan yang di syariatkan pada waktu-waktu yang utama ini. Pada amalan tersebut terdapat keutamaan yang banyak, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang takbir Iedul Fithri.
“Artinya : Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu dan agar kamu bersyukur” [Al-Baqarah : 185]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan pada hari-hari tasyriq.
“Artinya : Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang dimaklumkan (ditentukan) atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak” [Al-Hajj : 28]
Dan firman Allah Azza wa Jalla.
“Artinya : Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang ma’dudat (yang berbilang)” [Al-Baqarah: 203]
Diantara dzikir yang masyru pada hari-hari yang ma’lumat (ditentukan) dan hari-hari yang ma’dudat (yang berbilang) ini ialah takbir muthlaq dan takbir muqayyad, sesuai yang ada dalam sunnah muthahharah dan pengamalan salaf.
Dan sifat takbir yang masyru, ialah setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan mereka dengan takbir.
Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah), ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan satu suara serta dengan cara khusus.
Amalan ini tidak mempunyai dasar serta tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir. Allah tidak menurunkan dalil keterangan untuknya. Maka, barangsiapa yang mengingkari cara takbir yang seperti ini, berarti dia berpihak kepada yang haq, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.
Maksudnya : Tertolak dan tidak masyru
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Waspadalah terhadap segala urusan yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah sesat”.
Dan takbir jama’i diada-adakan, maka amalan ini bid’ah. Amalan manusia jika menyalahi syari’at, maka wajib diingkari. Karena ibadah bersifat tauqifiyyah. Yaitu ibadah itu tidak disyariatkan, kecuali yang tercakup dalam dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun perkataan dan pendapat manusia, maka tidak ada nilai hujjahnya jika menyalahi dalil-dalil syar’i. Begitu juga al-mashlahah al-mursalah, ibadah tidak bisa ada dengan berpatokan padanya. Karena ibadah hanya ditetapkan dengan nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ yang qath’i.
Yang disyariatkan ialah setiap muslin bertakbir sesuai dengan cara yang masyru, yang sah berdasarkan dalil-dalil syar’i. Yaitu dengan cara sendiri-sendiri (masing-masing).
Takbir jama’i telah diingkari. Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mufti Saudi rahimahullah telah melarang takbir jama’i. Beliau telah mengeluarkan fatwa larangan ini. Dan telah keluar dari saya sendiri lebih dari satu fatwa larangan takbir jama’i. Dan telah keluar fatwa larangan takbir jama’i dari Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa.
Syaikh Hammud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah telah menyusun risalah yang sangat bagus tentang pengingkaran takbir jama’i dan pelarangannya risalah ini sudah dicetak dan tersebar. Dalam risalah itu terdapat dalil-dalil pelarangan takbir jama’i yang memadai serta memuaskan, Alhamdulillah
Adapun yang dijadikan hujjah oleh Syaikh Ahmad, yaitu perbuatan Umar Radhiyallahu ‘anhu dan orang-orang di Mina, maka tidak ada hujjah-nya. Karena amalan Umar Radhiyallahu ‘anhu dan amalan orang-orang di Mina bukan termasuk takbir jama’i, tetapi itu merupakan takbir yang masyru’. Yaitu karena Umar Radhiyallahu ‘anhu mengeraskan suaranya dengan takbir untuk mengamalkan sunah, dan untuk mengingatkan orang-orang terhadap sunnah ini, sehingga merekapun ikut bertakbir. Setiap orang bertakbir menurut keadaannya, dan tidak ada kebersamaan antara mereka dengan Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk mengeraskan suara takbir dengan satu suara dari awal sampai akhir takbir seperti halnya cara orang-orang yang melakukan takbir jama’i pada zaman sekarang ini. Begitulah semua cara takbir yang diriwayatkan dari As-Salaf Ash-Shalih rahimahullah dalam semua takbir, seperti cara yang disyari’atkan. Barangsiapa yang mempunyai anggapan yang menyalahi cara tadi, maka ia wajib mendatangkan dalil.
Seperti itu juga hukum nida (panggilan/himbauan) untuk shalat Ied, shalat tarawih, qiyamullail atau witir. Semuanya bid’ah dan tidak ada asal (dalil)nya.
Dan telah sah dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat Ied tanpa ada adzan dan tanpa iqamat. Sepengetahuan kami tidak ada ahlul ilmi yang mengatakan adanya nida (panggilan/himbauan) tertentu, sehingga ia wajib menunjukkan dalil. Dan hukum asalnya adalah “tidak ada”. Maka, seseorang tidak boleh mensyariatkan suatu ibadah berupa perkataan atau perbuatan, kecuali dengan dalil dari Kitab Al-Aziz atau dari As-Sunnah yang shahih, atau ijma ahlul ilmi –seperti yang sudah disebutkan. Karena umumnya dalil-dalil syar’i melarang bid’ah-bid’ah, serta memerintahkan untuk mewaspadainya. Diantaranya firman Allah.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan oleh Allah?” [As-Syura : 21]
Termasuk diantara dalil-dalil ini ialah kedua hadits yang disebutkan tadi, termasuk sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah Jum’at.
“Artinya : Amma ba’du. Maka sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah kitab Allah. Sebaik-baik ajaran adalah ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya sejahat-jahat urusan ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sest”
Hadits-hadits serta atsar-atsar yang semakna dengan ini banyak.
Kepada Allah semata (kita) memohon, agar Dia menunjukkan kepada kami dan Syaikh Ahmad serta semua ikhwan kita untuk memahami dienNya. Serta tetap berpegang padanya. Dan semoga Dia mejadikan kita semua termasuk ke dalam golongan du’at yang menyerukan ajaran Allah dan membela kebenaran. Dan supaya Dia melindungi kita serta semua kaum muslimin dari segala sesuatu yang menyalahi syariatNya. Sesungguhnya Dia Maha Baik, lagi Maha Mulia.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]