Kategori: Fiqh -

Hari ini, sunnah merapatkan dan meluruskan shaf seakan menjadi usang dan lekang oleh kaum muslimin. Padahal, barangsiapa yang melaksanakan syari’at, petunjuk dan ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya (mengikuti) dan hakikat kecintaannya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat berjamaah merupakan amal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana sabdanya, “Shalat berjamaah lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Ketika shalat berjamaah, meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) sangat diperintahkan, sebagaimana di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, artinya : “Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka ?” Maka kami (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah , bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka ?” Beliau menjawab : “Mereka menyempurnakan barisan-barisan (shaf-shaf), yang pertama kemudian (shaf) yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan” (HR. Muslim, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah).
Berkata Ibnu Hazm rahimahullahu : hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisal merupakan dalil wajibnya merapikan shaf sebelum shalat dimulai. Karena menyempurnakan shalat itu wajib, sedang kerapihan shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat, maka merapikan shaf merupakan kewajiban. Juga lafaz amr (perintah) dalam hadits di atas menunjukkan wajib. Selain itu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam setiap memulai shalat, selalu menghadap kepada jamaah dan memerintahkan untuk meluruskan shaf.
Teladan dari Nabi dan Para Shahabat
Umar bin Khaththab pernah memukul Abu Utsman An-Nahdi karena ke luar dari barisan shalatnya. Juga Bilal pernah melakukan hal yang sama, seperti yang dikatakan oleh Suwaid bin Ghaflah bahwa Umar dan Bilal pernah memukul pundak kami dan mereka tidak akan memukul orang lain, kecuali karena meninggalkan sesuatu yang diwajibkan (Fathul Bari juz 2 hal 447). Itulah sebabnya, ketika Anas tiba di Madinah dan ditanya apa yang paling anda ingkari, beliau berkata, “Saya tidak pernah mengingkari sesuatu melebihi larangan saya kepada orang yang tidak merapikan shafnya.” (HR. A-Bukhari).
Bahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sebelum memulai shalat, beliau berjalan merapikan shaf dan memegang dada dan pundak para sahabat dan bersabda, “Wahai sekalian hamba Allah! Hedaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan membalikkan wajah-wajah kalian.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari).
Di dalam riwayat Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah biasa masuk memeriksa ke shaf-shaf mulai dari satu ujung ke ujung yang lain, memegang dada dan pundak kami seraya bersabda, “Janganlah kalian berbeda (tidak lurus shafnya), karena akan menjadikan hati kalian berselisih” (HR. Muslim).
Imam Al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksud dengan perselisihan hati pada hadits di atas adalah bahwa ketika seorang tidak lurus di dalam shafnya dengan berdiri ke depan atau ke belakang, menunjukkan kesombongan di dalam hatinya yang tidak mau diatur. Yang demikian itu, akan merusak hati dan bisa menimbulkan perpecahan (Fathul Bari juz 2 hal 443). Pendapat ini juga didukung oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, berbeda hati maksudnya terjadi di antara mereka kebencian dan permusuhan dan pertentangan hati. Perbedaan ketika bershaf merupakan perbedaan zhahir dan perbedaan zhahir merupakan wujud dari perbedaan bathin yaitu hati.
Susunan Shaf Shalat

Hadits dari Nu’man Bin Basyir, beliau berkata : “Dan aku melihat semua laki – laki yang shalat saling mendekatkan antara pundak dengan pundak lainnya dan mata kaki dengan mata kaki lainnya “ (HR. Bukhari).
Di dalam riwayat lain oleh Abu Dawud Rasulullah bersabda, Artinya “Demi jiwaku yang ada di tanganNya, saya melihat syaitan masuk di celah-celah shaf, sebagaimana masuknya anak kambing.”
Posisi Makmum di Dalam Shalat



Adapun pendapat Kufiyyun (Ulama-ulama’ Kufah) yang mengatakan bahwa kalau makmum terdiri dari dua orang maka yang satunya berdiri di sebelah kanan Imam dan yang lainnya di sebelah kirinya, maka hal itu dibantah oleh Ibnu Sirin, seperti yang diriwayatkan oleh Attahawi bahwa yang demikian itu hanya boleh diamalkan, ketika shalat di tempat yang sempit yang tidak cukup untuk membuat shaf di belakang.

Sebagaimana hadits bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha shalat menjadi imam bagi kaum wanita dan beliau berdiri di tengah shaff (HR. Baihaqi, Hakim, Daruquthni dan Ibnu abi Syaibah).

Hadits di atas juga menjelaskan bahwa makmum wanita mengambil posisi di belakang laki-laki, sekali pun harus bershaf sendirian. Dan dia tidak boleh bershaf di samping laki-laki, apalagi di depannya. Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaliknya bagi wanita, sebaik-baik shaf baginya adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang pertama. (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Dan shaf yang paling afdhal adalah di sebelah kanannya imam. Dan dari situlah dimulainnya membuat shaf baru, sebagaimana yang dikata-kan oleh Barra’ bin ‘Azib dengan sanad yang shahih. Menyempurnakan shaf terdepan adalah yang dilakukan oleh para malaikat, ketika berbaris di hadapan Allah.


Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa yang paling utama adalah menempatkan anak-anak di belakang shaff laki-laki dewasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan anak-anak itu akan bisa mengganggu orang-orang yang shalat atau ada shaff yang kurang penuh maka bariskanlah anak-anak itu bersama laki-laki dewasa. Dan ini tidaklah termasuk kedalam memutus shaff apabila usia anak-anak itu termasuk kedalam usia tamyiz dan dalam keadaan suci (berwudhu) dan jauh dari kemungkinan bahwa anak-anak itu tidak dalam keadaan bersuci. (Markaz al Fatwa, fatwa No. 35652)
Jika anak itu belum masuk usia tamyiz maka tidak seharusnya dia ditempatkan di tengah-tengah shaff agar tidak memutus shaff akan tetapi jika pun terpaksa ditempatkan di tengah-tengah saf maka tidaklah mempengaruhi kesahan shalat para jama’ah yang tersisa… Pada dasarnya shalat seorang makmum tidaklah batal dengan batalnya shalat salah seorang dari makmum yang lain...” (Markaz al Fatwa, fatwa No. 44924).
Adapun usia tamyiz seorang anak menurut Syeikh Ibnu Utsaimin adalah umumnya 7 tahun akan tetapi terkadang seorang anak sudah mencapai tamyiz di usia 5 tahun. Mahmud bin ar Rabi’ berkata.”Aku teringat bahwa wajahku pernah dimuntahi oleh Rasulullah saw satu kali sementara (saat itu) aku masih berusia 5 tahun.”
Ada sebagian anak-anak kecil yang sudah pandai dan mampu membedakan (tamyiz) di usia yang masih kecil sementara ada sebagian lainnya yang sudah baligh di usia 18 tahun namun dirinya belum tamyiz.” (Liqo’ al Bab al Maftuh juz 13 hal 37).
Faedah :
Dibolehkan seorang makmum shalat di lantai dua dari masjid atau dipisahkan dengan tembok atau lainnya dari imam, selama dia mendengar suara takbir imam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan, “Tidak mengapa kamu shalat berjamaah dengan imam, walaupun di antara kamu dan imam ada sungai”. Ditambahkan oleh Abu Mijlaz, selama mendengar takbirnya imam (Shahih Al-Bukhari). Dan sebagian ulama juga menyaratkan harus bersambungnya shaf, namun hal ini masih diperdebatkan di antara para ulama. Juga kisah qiyamuramadhan (shalat tarawih), yang pertama kali yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam .
Larangan Membuat Shaf Sendirian
Seorang makmum dilarang membuat shaf sendirian, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Wabishah bin Mi’bad, bahwa Rasulullah melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian, maka beliau memerintahkan untuk mengulang shalatnya (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dan pada riwayat Thalq bin Ali ada tambahan, “Tidak ada shalat bagi orang yang bersendiri di belakang shaf”. Walaupun demikian sebagian ulama’ tetap menyatakan sah shalat seorang yang berdiri sendiri dalam satu shaf karena alasan hadits di atas sanadnya mudltharib (simpang siur), sebagai-mana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, jika seseorang menjumpai shaf yang sudah penuh, sementara ia sendirian dan tidak ada yang ditunggu, maka boleh baginya shalat sendiri di belakang shaf itu. Karena apabila ada larangan berhada-pan dengan kewajiban (jamaah bersama imam), maka di dahulu-kan yang wajib.
Mengisi Kekosongan
Untuk menjaga keutuhan shaf boleh saja seorang maju atau bergeser ketika mendapatkan ada shaf yang terputus. Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah beliau bersabda, “Barangsiapa yang meme-nuhi celah yang ada pada shaf maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Bazzar dengan sanad hasan).
Tiada langkah paling baik melebihi yang dilakukan oleh seorang untuk menutupi celah di dalam shaf. Dan semakin banyak teman dan shaf dalam shalat berjamaah akan semakin afdhal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Shalat seorang bersama seorang lebih baik daripada shalat sendirian dan shalatnya bersama dua orang lebih baik daripada shalatnya bersama seorang. Dan bila lebih banyak maka yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dan ketika memasuki shaf untuk shalat disunahkan untuk melakukannya dengan tenang tidak terburu-buru, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwasanya ia shalat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada shaf, maka Nabi berkata kepadanya, Artinya “Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemauan), tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (HR. Al Bukhari) dan dalam riwayat Abu Daud ada tambahan: “Ia ruku’ sebelum sampai di shaf lalu dia berjalan menuju shaf.” Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar,baik buruk akan kami terima demi sempurnanya blog ini,tapi tetep jaga kesopanan